Jumat, 12 Juni 2009

Re: Bls: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage



Makasih,Yan, Insya Allah saya doakan semoga "keinginan" ente yg satu itu terkabul:). Tetap semangat, ikhtiar, sholat Hajat dan shodaqoh ya. Kata orang sih itu cara manjur untuk segala keinginan makbul.
 
Keep writing, keep fighting!
 
Tabik,
 
Nursalam AR

 
On 6/12/09, bujang kumbang <bujangkumbang@yahoo.co.id> wrote:


lengkap sekaleee, Bang!
alhamdulillah akhirnya tulisan ini keluar juga, euy... disini
cukup terharu membacanya...
doakan aye ya Bang biar menyusul
amin!
sukses selalu buat abang!
amin

--- Pada Jum, 12/6/09, Nursalam AR <pensilmania@gmail.com> menulis:

Dari: Nursalam AR <pensilmania@gmail.com>
Topik: [sekolah-kehidupan] [Catcil] Long Road To The Marriage
Kepada: sekolah-kehidupan@yahoogroups.com
Cc: eskesuma@yahoo.com
Tanggal: Jumat, 12 Juni, 2009, 4:24 PM

Long Road To The Marriage*

Oleh Nursalam AR

Mencari Cinta

Malam merayap siput. Hujan menderap

Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri

Mata susah pejam, angan layang liar

Kuraba sisi kasur. Kosong

Kapankah ia berpenghuni?

Hanya Takdir yang tahu

Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.

(Elegi Lajang, 2002)

Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia."Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.

Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang sembrono atau slebor sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka. Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya?

"Ih, sudah ditawarin akhwat yang pernah jadi cover girl majalah malah nolak. Kenapa sih?!"

Ini sebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. Subhanallah, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah, aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi. Hanya saja aku tidak merasa ada chemistry yang sama dengan sekadar melihat foto saja.

Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.

Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "sekufu", setara. Seorang saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik perahu tambang alias perahu eretan di Kali Ciliwung. Konon, cerita almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.

Bertemu Cinta, Menanti Jodoh

2007.

Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati riwayatnya? Ternyata tidak.

Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.

"Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.

Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku dan putrinya.

"Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang mendadak gugup.

"Tapi jangan marah ya.."

Hm…apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi penuh.

"Halo?!"

Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.

"Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.

"Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin penasaran aja!

"Iya, kagak…" Tuh, keluar deh logat Betawiku!

Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua…tiga… Diam-diam hatiku menghitung kapan bom itu meledak.

Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa. Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.

"Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"

"Emang kenapa?"

"Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman kakak!"

"Kan nggak semua. Tiap orang beda."

"Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"

"Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak. Disampaikan ya!"

Hening.

"Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.

"Nggak. Cuma rada kaget aja."

Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku. Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!

Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun sejek bujeg di Jakarta. Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang. Sangat Indonesia bukan?

Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami. Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama. Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas" dan "tukang kawin". Duh!

Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian, melalui murobbi alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang akhwat teman seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia menolakku—melalui jawaban lisan dari sang murobbiyah—karena dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!

"'Afwan ya, Lam. Sebetulnya si akhwat udah mau. Dia kan seangkatan antum. Jadi tahu kiprah antum di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak ternyata antum pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, antum ditolak." Itu jawaban sang akhwat melalui lisan murobbiku.

Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak. Ya Allah, rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan 'cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang menghambat perjodohanku. Dua ta'aruf berikutnya juga bernasib sama. Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!

Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa. Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.

"Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.

"Kamu serius?"

Ia mengangguk.

Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera sobatku ini?

"Maunya seperti apa?"

Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm…cukup ideal memang. Tapi, bismillah, aku coba.

"Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."

"Cantik tidak?"

Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya. Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?

"Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh buat cowok!"

Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.

Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu to?

"Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"

Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok banget. Wawasannya luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."

Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus, tanpa jerawat dll.

Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?

Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama. Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami meniatkan 'segala sesuatu akan indah pada waktunya'. Bismillah. Kami pun sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.

Meminang dengan Pena

Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga. Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.

Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.

"Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut. Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.

"Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa. Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku: ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku) adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?

Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati: Alhamdulillah, Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku! Mungkin terlalu remeh buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam diary istimewa di palung hati terdalam.

"Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu" keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. Harus kumulai dari mana? pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis a la Roy Suryo terlihat antusias menunggu jawabanku. Ah, berarti pertanyaannya serius, batinku.

"Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan, Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah. Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.

Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding, batinku. Dan moga saja kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku curigai sekadar basa-basi. Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya diri!

Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang suka dibacanya. Ah, ia pembicara yang baik. Pintar menarik perhatian teman bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang saja. Atau mungkin moodku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.

Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang tinggi-tingginya- -tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan hanya dua hari sebelum hari khitbah atau lamaran. Sehari berikutnya berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin yang cocok dan terutama pas dengan budget seorang penerjemah pemula yang pas-pasan.

"Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari ba'da subuh hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. Duh, begini ya perjuangan orang mau serius nikah, demikian aku membatin menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di samping komputer kreditanku.

"Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.

"Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari mulutnya saat silaturahmi- silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para penumpangnya. Komplit.

Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya hallo effect, renungku dalam suatu kesempatan.

Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang brojol saja di sana karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan Pertamina.

Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias ratron--persis seperti tokoh dalam novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck-nya Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu mayoritas cerita pendek.

Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar nisfu sya'ban.

Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis yang kendati pernah nyantrik di UI namun tak tuntas dan harus berjuang dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran, mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan freelance dan akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas kemandirian.

Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis. Dan ia pengagum tulisanku. Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis jika semua gadis demikian adanya! Namun perjalananku ke depan masih panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki, dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada padanya.

Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan mahar buku Pemikiran Yunani yang ditulisnya kepada sang gadis idaman, Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? Wallahu a'lam bisshawwab. Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"

Aku diam-diam tersenyum. Sederet plan A dan B berputar di kepala. Tak heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan saja!"

Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu pohon cita-cita?

Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari tandus, gerimis hingga hujan deras.

Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."

Wahai semesta, sambutlah niat suciku!

Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana berputus-asa dan tumpas digulung masa!

License To Wed

Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah, dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: Susah-Susah Gampang. Tapi, lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang, bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang lajang –yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula—untuk menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu teorinya.

Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis long march 300 meteran dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang lelaki?

"KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"

Dengan husnuzon tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus. Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat Choki-Choki. Alamak! Ini mah sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin sembari berpandangan.

Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan. Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.

Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?

Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga editing kartu undangan.

Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga KUA di tempat asalnya.

"Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"

"Surat apa?" tanya si gadis bingung.

Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele" tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan yang aneh."

Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah khitbah atau lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar," Duh, pasangan santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.

Back to laptop, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula) karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang ngebodor (baca: melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan penerjemah freelance seperti calon suaminya yang –karena tekanan deadline—bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu dengan, terpaksa, sabar.

Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi, sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di rumah segera meneliti.

"Lho kok tulisannya begini?"

Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun 50an).

Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.

"Jeruk kok makan jeruk?"

Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi "makan jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali" ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara de jure dan de facto.

Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni Meganingrum dan sang pemuda –yang sempat "berubah wujud"—bernama Nursalam AR.

Menikah? Lantas....

Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30, aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari olok-olok zaman SMA dulu.

"Elo mau kawin apa nikah?"

"Emang apa bedanya?"

"Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."

Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet kewajiban yang datang.

Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban pribadiku saat seorang netter, ketika dalam sebuah milis meruyak kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan. Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap diri sendiri.

Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta – seperti aku, misalnya -- adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi -- cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.

Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.

Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi. Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai -- dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.

Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah -- yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.

Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun, tak usahlah jadi kontroversi.

Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas. Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah silaturahim.

Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan, berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.

Pengadegan, Juni 2009
*) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.
**) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga tulisan ini bermanfaat:) . Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah kita kembali!







--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam. multiply. com
www.pensilmania. multiply. com


Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. Rasakan bedanya!




--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.multiply.com
www.pensilmania.multiply.com

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar