Jumat, 07 Agustus 2009

[sekolah-kehidupan] BU, FADHIYAH NYAMBEL!

"Bu, Fadhiyah /nyambel/!"

Suara nyaring terdengar di udara kering siang hari ketika aku sedang
melayani Bu Sri yang membeli beberapa keperluan rumah tangga di warung
orang tuaku. Suara itu berasal dari lelaki tetangga sebelah rumah. Rumah
yang agak menjorok dari pandangan rumah kami. Penghuni rumah itu empat
orang. Pak Farhan sebagai kepala keluarga. Bu Sri, isterinya yang
sekarang sedang berbelanja. Dan dua orang anak mereka yang bernama
Adilla yang berusia lima tahun serta Fadhiyah yang baru enam bulan lalu
mengucapkan selamat tinggal kepada rahim Bu Sri.

Mendengar teriakan itu, Bu Sri yang berada di warung kami langsung
menjawab. Juga dengan berteriak, "Sebentar. Masih belum selesai."

Kemudian kepadaku, "Semuanya jadi berapa Dik?"

"Lima belas ribu kurang lima ratus, Bu," jawabku singkat.

"Ngutang dulu, ya? Boleh 'kan?" jawabnya sambil meninggalkanku yang
terbengong.

"Bu!" panggilku.

"Kenapa? Tidak boleh?" ia berbalik dengan cepat. Matanya tajam
menatapku. Kepalanya mendongak. Menantangku.

"Bukan tidak boleh."

"Lantas?"

Aku ragu mau bilang apa. Tapi….

"Mmm, Si Fadhiyah /nyambel/ ya?"

"Kata bapaknya sih begitu."

"/Nyambel/ itu apaan sih, Bu?" selidikku ingin tahu.

"Ada deh. Benar 'kan ini ngutang dulu?"

Aku mengangguk lemah. "Tapi…"

"Ya sudah. Terima kasih ya," ujarnya sambil berlalu.

"Tapi Bu…"

Dengan perasaan malas aku menuliskan utang Bu Sri di buku kucel tebal
dengan cover batik-batik itu. Aku menambahkan utang sejumlah 14.500
rupiah tadi. Dan aku cukup terkejut ketika melihat total utang Bu Sri.
Hampir mendekati angka 800.000 rupiah. Kalau lama seperti ini warung
kecil yang menjadi salah satu sandaran kehidupan kami akan segera rubuh.

Aku menarik napas panjang. Aku memandangi barang jualan kami. Dengan
sering diutangi oleh para tetangga, warung kami menjadi tidak lengkap.
Seperti mulut nenek-nenek yang giginya jarang. Kosong di sana sini. Dan
yang paling sering serta paling banyak utangnya adalah keluarga Bu Sri itu.

Aku tidak tahu sampai kapan warung kami akan bertahan. Modal kami tidak
banyak.

"Bu Sri ngutang lagi?" tanya ibuku yang keluar dari kamar mandi. Tadi
beliau sedang mencuci baju. Di dekatnya teronggok ember besar berisi
cucian yang siap dijemur.

Aku mengangguk.

"Kenapa diberi? Yang kemarin-kemarin saja belum bayar. Bisa bangkrut kita."

Aku terdiam. Pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Seharusnya
seperti itulah. Tidak seharusnya aku membiarkannya berutang lagi.
Efeknya ke dua belah pihak. Warung kami bisa pailit. Bu Sri pun pasti
keberatan untuk melunasinya.

Lama kami terdiam. Hingga aku ingat dengan kejadian tadi.

"Bu, kalau /nyambel/ itu apaan sih?" tanyaku pada ibu yang sekarang
sedang menjemur cuciannya.

"Anak Gadis kok tidak tahu /nyambel/. Masa sih."

"Bukan tidak tahu…"

"Lantas? Kenapa yang seperti itu saja ditanyai. /Nyambel/ itu ya
/nyambel/. Seperti yang biasa kamu lakukan. Ambil terasi, tomat, cabe,
diulek di atas cobek."

"Tapi kalau si Fadhiyah /nyambel/ apakah berarti seperti itu?" tanyaku
spontan.

"Mungkin."

"Kalau menurut Wati sih tidak mungkin. Ia 'kan masih bayi. Baru enam bulan."

"Kamu bicara apa sih?"

"Ya seperti itu. Apa arti /nyambel/ itu. Apa arti Fadhiyah /nyambel /itu."

"Lantas kenapa nanyain itu?"

Aku jelaskan apa yang menjadi keherananku selama ini. Setiap kali Pak
Farhan menyebut Fadhiyah /nyambel/, Bu Sri akan berlari dengan tergesa
ke rumahnya. Hal ini bukan sekali dua kali. Tapi sering. Yang paling aku
ingat adalah ketika ia memberikan Buah Kesturi ke keluarga kami beberapa
bulan lalu. Lama ia mengobrol di rumah kami. Ia mengatakan baru pulang
kampung dari Banjarmasin. Ketika itu teriakan Pak Farhan
mengobrak-abrikkan semua yang kami obrolkan. Bu Sri pun langsung pulang
dengan tergesa.

"Tidak ditanyakan kepada Bu Sri?"

"Sudah."

"Apa Jawabannya?"

"Bu Sri hanya tersenyum."

***

Aku sedang membaca sambil tiduran ketika teriakan khas itu terdengar
kembali. Aku segera keluar rumah. Aku mendekati rumah itu. Aku
mengitarinya. Aku mengendap-ngendap. Aku menajam-najamkan telinga. Aku
ingin mendengar apa yang dikatakan oleh mereka. Aku juga mencuri-curi
pandang ke dalam rumah. Tapi tidak ada yang dapat aku lihat. Aku juga
tidak tahu posisi mereka.

Tapi tidak lama. Aku mendengar suara dari samping rumah. Tampaknya dari
kamar anaknya. Aku menuju ke sana. Aku ingin melongokkan kepala ke kamar
itu. Tapi aku urungkan. Aku takut ketahuan. Aku pun berpura-pura naik ke
atas pohon rambutan. Aku duduk di sebuah dahan yang rendah.

Di sana aku diam. Aku melirik-lirik kecil ke kamar itu. Dan aku melihat
mereka. Bu Sri datang terburu-buru dari ruang tamu. Sedang Pak Farhan
sedang duduk di ranjang tempat tergoleknya si kecil Fadhiyah.

Aku betul-betul penasaran. Aku ingin tahu apa makna dari kata /nyambel/
itu. Aku memperhatikan pembicaraan mereka.

"Kenapa tidak Bapak saja, sih!" ketus Bu Sri.

"Tanggung, Bapak barusan sedang makan."

"Taruh dulu bisa 'kan!"

"Lagi enak-enaknya, Bu."

"Selalu ibu, ibu saja."

"'Kan sudah menjadi tugas seorang isteri."

"Ya tugas isteri. Suami juga harus membantu 'kan?"

"Ya, coba Bapak bantu deh. Bantu ngeliatin he-he-he…," kekeh Pak Farhan.

"Huh ingin enaknya saja," manyun Bu Sri sambil membopong si Fadhiyah
kecil. Ia mengangkatnya. Ketika akan beranjak, tampaknya ia melihat
bayanganku di ranjang. Ia mendongak. Ia melihat ke arahku. Bu Sri
tersenyum. Ia bertanya kepadaku.

"Rambutannya berbuah?"

Aku tergagap. Aku tidak menyangka Bu Sri akan melihat dan bertanya
kepadaku.

"Eh, tidak Bu. /Ngambil/ layangan."

"Untuk Si Asep?"

Aku tersenyum.

Bu Sri berkata kepada suaminya.

"Tuh Pak. Si Wati saja yang masih anak SMP tidak membeda-bedakan mana
pekerjaan laki-laki dan perempuan. Ia bisa manjat pohon. Ia mengambilkan
layangan untuk adiknya. Masa Bapak tidak bisa membantu ibu. Kalau
giliran si Fadhiyah /nyambel/ pasti ibu yang dipanggil. Sesekali Bapak
/kek/," katanya sambil keluar dari kamar.

Aku tertegun. Aku tidak melihat apa dan bagaimana Fadhiyah yang
/nyambel/ itu. Aku hanya menyaksikan ia tiduran di tempat tidur.
Kemudian mendengar benturan ucapan dari suami isteri itu. Esensi si
Fadhiyah yang /nyambel/ itu tidak aku lihat. Aku makin penasaran. Aku
ingin segera tahu apa arti perkataan favorit Pak Farhan itu.

"Layangannya dimana, Dik?" suara bariton itu, memecahkan bangunan
lamunku. Aku kaget.

"Itu," tunjukku pada pada layangan di atasku. Tapi layangan itu tidak
akan terlihat oleh Pak Farhan. Ia sedikit berada di atas atap rumah Pak
Farhan.

"Oh, hati-hati," katanya.

"Nggak kok. Deket. Nggak perlu manjat tinggi-tinggi."

"Bukan itu. Hati-hati nanti dikerubuti jejaka bau kencur. Adik tidak
sadar ya naik pohon rambutan pake rok biru SMP-nya!" ucapnya sambil
menutupkan daun jendela kamar.

***

/ Fadhiyah nyambel. Fadhiyah nyambel. Fadhiyah nyambel. /Kata-kata itu
terus berdengung-dengung di telingaku. Ia telah mengisi otak mudaku yang
seharusnya diisi oleh pelajaran sekolah. Dan aku telah melewati puncak
titik didih yang membuatku sangat penasaran. Bukan apa-apa. Aku melihat
daya magnet yang luar biasa dari perkataan sederhana itu. Ketika Bu Sri
berbelaja di warungku, ketika bercengkerama, dimanapun. Tampaknya kata
itu sanggup mengubah apa yang dilakukan oleh Bu Sri. Ia akan langsung
berlari ke rumah.

Kata itu telah pula membuat sedikit pertengkaran diantara mereka.
Seperti yang aku saksikan dari atas pohon rambuan itu. Dan itu membuatku
takjub. Aku ingin tahu esensinya. Apa sih arti /nyambel/ itu? Apakah
seharfiah hurufnya? Ataukah mempunyai makna yang tersurat?

Ah, aku harus mencari tahu. Aku harus mendapat jawabnya. Dan untuk itu
aku akan mendekati mereka. Terutama si kecil Fadhiyah.

Maka dimulailah petualanganku.

Sejak memutuskan hal itu, sepulang sekolah aku menawarkan diri untuk
mengasuhnya. Untungnya mereka memperbolehkan. Mereka malah senang ada
yang menolong.

Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku melakukan penyelidikan.
Aku memperhatikan anak lucu dan gemuk itu. Aku lihat dengan baik-baik.
Tapi aku kecewa. Berhari-hari aku mengasuh bayi itu. Tapi tidak ada yang
berbeda ketika aku memperhatikannya. Ia biasa saja. Seperti bayi
lainnya. Lucu. Imut. Dan yang paling utama bayi itu jarang menangis.

Tapi lama kelamaan aku tersadar. Aku telah melakukan hal-hal yang tidak
perlu aku kerjakan. Aku terlalu serius menyikapi setiap masalah. Rasa
ingin tahu telah mengalahkan logikaku. Bagaimana tidak. Aku telah naik
ke pohon rambutan hanya untuk mengetahui arti kata itu. Aku sering
mencuri pandang, mengintai ke rumah itu. Dan ini tidak bisa dibiarkan.
Aku harus menghentikan penyelidikanku. Energiku harus aku habiskan untuk
hal-hal yang berguna. Tidak bisa aku seterusnya seperti ini. Menyelidiki
hal-hal yang tidak ada faedahnya. Aku harus mengekang rasa ingin tahuku.
Aku tidak boleh diperbudak oleh pikiran kritisku. Aku harus menghentikan
kegilaanku ini. Biarlah kata itu, Bu, Fadhiyah /Nyambel! /itu/, /tidak
aku temukan apa artinya.

Setelah berpikir sampai ke sana aku memutuskan untuk tidak melanjutkan
pengamatanku. Hanya yang jelas aku harus mengembalikan si kecil
Fadhiyah. Inilah terakhir kalinya aku mengasuh bayi itu.

Hari telah senja. Sebentar lagi maghrib. Aku menuju ke rumah Pak Farhan.
Aku mengetuk pintunya. Tidak lama pintu itu terbuka. Pak Farhan berdiri
di ambang pintu. Ia menerima anak keduanya itu. Ia mengucapkan terima
kasih kepadaku karena telah mau mengasuhkan anaknya. Ia mengajakku
masuk. Aku menggeleng. Aku beranjak. Ia menutup pintu. Aku terdiam
sejenak. Hampir satu bulan ini aku telah melakukan hal-hal yang aneh.
Aku telah melupakan tugas belajarku hanya untuk mengetahui arti kata
itu. Banyak yang telah aku korbankan. Dan sekarang aku harus
melupakannya. Aku telah gagal.

Aku beringsut dari teras rumah itu. Hanya lima langkah aku berjalan,
teriakan nyaring nan khas Pak Farhan terdengar, "Bu, Fadhiyah nyambel!"

Aku tersentak. Aku ingin mendobrak pintu itu. Aku ingin menerobos masuk
ke dalam rumah. Aku hendak berbalik.

Tapi…, Ah, EGP! teriakku dalam hati.

[Ditulis ketika aku sering mendengar teriakan tetangga sebelah rumah,
"Bu, Fadhiyah nyambel!"…]

------------------------------------

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:sekolah-kehidupan-digest@yahoogroups.com
mailto:sekolah-kehidupan-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
sekolah-kehidupan-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar