Sudah membacasemua bagian tulisan ini, tapi tetep seru bacanya :D
hehehehe...
Ayo kita ramaikan eska lagi...
yeee, semangat
*Sedang mempersiapkan lomba nulis :D untuk milad... pada ikutan, ya :)
salam
Novi
In sekolah-kehidupan@yahoogroups. , Nursalam AR <pensilmania@com ...> wrote:
>
> *Long Road To The Marriage**> *Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. *
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> *Mencari Cinta*
>
> *Malam merayap siput. Hujan menderap*
>
> *Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*
>
> *Mata susah pejam, angan layang liar*
>
> *Kuraba sisi kasur. Kosong*
>
> *Kapankah ia berpenghuni?*
>
> *Hanya Takdir yang tahu*
>
> *Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*
>
> (*Elegi Lajang*, 2002)
>
>
>
> Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
> lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara
> keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.* *Menurut
> Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan pada
> sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat
> apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.
>
>
>
> Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
> sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
> Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
> banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
> justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk
> kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
> momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **
>
>
>
> "Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
> nolak. Kenapa sih?!"
>
>
>> saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum
> Subhanallah*, cantik nian. Gadis keturunan Arab yatim piatu dari keluarga
> mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah,
> aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi.
> Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan sekadar melihat
> foto saja.
>
>
>
> Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
> mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan
> gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka
> dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.
>
>
>
> Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat
> fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
> saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat
> itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif
> masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik
> perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon, cerita
> almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.
>
> * *
>
> *Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*
>
>
>
> 2007.
>
>
>
> Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
> berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati
> riwayatnya? Ternyata tidak.
>
>
>
> Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.
>
>
>
> "Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.
>
>
>
> Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
> kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
> suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September
> 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku
> dan putrinya.
>
>
>
> "Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
> mendadak gugup.
>
>
>
> "Tapi jangan marah ya.."
>
>
>
> Hm…apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
> berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
> penuh.
>
>
>
> "Halo?!"
>
>
>
> Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
> mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.
>
>
>
> "Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.
>
>
>
> "Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
> penasaran aja!
>
>
>
> "Iya, kagak…" *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!
>
>
>
> Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua…tiga…Diam-diam
> hatiku menghitung kapan bom itu meledak.
>
>
>
> Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
> itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
> Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.
>
>
>
> "Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"
>
>
>
> "Emang kenapa?"
>
>
>
> "Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman
> kakak!"
>
>
>
> "Kan nggak semua. Tiap orang beda."
>
>
>
> "Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"
>
>
>
> "Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak.
> Disampaikan ya!"
>
>
>
> Hening.
>
>
>
> "Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.
>
>
>
> "Nggak. Cuma rada kaget aja."
>
>
>
> Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku.
> Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!
>
>
>
> Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di Jakarta.
> Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang
> blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang.
> Sangat Indonesia bukan?
>
>
>
> Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami.
> Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
> seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama.
> Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun
> cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan
> "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas" dan
> "tukang kawin". Duh!
>
>
>
> Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian,
> melalui *murobbi
> *alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang *akhwat* teman
> seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat
> dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris
> dua bulan lamanya, ia menolakku—melalui jawaban lisan dari sang
> *murobbiyah*—karena
> dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!
>
>
>
> "*'Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
> antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak
> ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi,
> atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak." Itu jawaban sang
> *akhwat*melalui lisan murobbiku.
>
>
>
> Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa
> pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.Ya Allah, rasanya
> aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan
> `cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang
> menghambat perjodohanku. Dua *ta'aruf *berikutnya juga bernasib sama. Bahkan
> tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
>
>
>
> Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
> selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
> rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
> sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami
> mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
> Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.
>
>
>
> "Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
> dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.
>
>
>
> "Kamu serius?"
>
>
>
> Ia mengangguk.
>
>
>
> Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku
> baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
> sobatku ini?
>
>
>
> "Maunya seperti apa?"
>
>
>
> Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm…cukup ideal memang.
> Tapi, *bismillah*, aku coba.
>
>
>
> "Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama
> Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."
>
>
>
> "Cantik tidak?"
>
>
>
> Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya.
> Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu
> pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?
>
>
>
> "Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh
> buat cowok!"
>
>
>
> Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja
> merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku
> sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.
>
>
>
> Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
> kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan
> keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu *to*
> ?
>
>
>
> "Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"
>
>
>
> Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok
> banget. Wawasannya
> luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."
>
>
>
> Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk
> dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan
> bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis
> dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu
> jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus,
> tanpa jerawat dll.
>
>
>
> Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
> Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
> karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
> mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?
>
>
>
> Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
> mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
> Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan
> penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
> status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami
> meniatkan `segala sesuatu akan indah pada waktunya'. *Bismillah*. Kami pun
> sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.
>
>
>
> *Meminang dengan Pena
> ***
>
> Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga.
> Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
> kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.
>
>
>
> Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
>
>
>
> "Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut.
> Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.
>
>
>
> "Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
> berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini
> kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
> Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku:
> ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
> kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
> adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
> bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?
>
>
>
> Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati:
> *Alhamdulillah,
> Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
> buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga
> kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
> diary istimewa di palung hati terdalam.
>
>
>
> "Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
> keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
> dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo terlihat
> antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*, batinku.
>
>
>
> "Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
> Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah.
> Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa
> dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
> seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.
>
>
>
> *Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
> kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku
> curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
> diri!*
>
>
>
> Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
> menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
> suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian teman
> bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang
> ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang
> gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah
> satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.
>
>
>
> Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
> yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang
> tinggi-tingginya--tapi karena ia dibeli dengan hasil pena. Ia kubeli dengan
> tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan
> hanya dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
> berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin
> yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula yang
> pas-pasan.
>
>
>
> "Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku
> beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan
> sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang
> keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat
> dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari *ba'da* subuh
> hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. *Duh,
> begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian aku membatin
> menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja
> tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di
> samping komputer kreditanku.
>
>
>
> "Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin
> mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah
> atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
> dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
> memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
> diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
> bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
> penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.
>
>
>
> "Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah
> beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap
> yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang
> berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali
> di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
> berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
> umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
> mulutnya saat silaturahmi-silaturahmi berikutnya. Mungkin beliau sudah
> maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
> penumpangnya. Komplit.
>
>
>
> Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
> sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima
> baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya
> buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
> kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah
> kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
> "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam suatu
> kesempatan.
>
>
>
> Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi
> sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
> mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
> Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum
> ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat
> yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
> gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
> karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan
> Pertamina.
>
>
>
> Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
> antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
> 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
> ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal Vanderwijck*-nya
> Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
> yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan
> tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai
> pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan
> tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera
> Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu
> mayoritas cerita pendek.
>
>
>
> Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
> pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar
> beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
> emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah
> kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
> kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
> papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
> sya'ban*.
>
>
>
> Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
> tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya
> yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang
> PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis
> yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
> dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
> mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
> akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
> kemandirian.
>
>
>
> Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
> bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian
> pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis.
> Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
> jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
> panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah
> momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
> kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
> berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki,
> dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada
> padanya.
>
>
>
> Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
> menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
> mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
> Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam bisshawwab*.
> Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
> perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan
> menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat
> sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"
>
>
>
> Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
> heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
> gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon
> mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan
> saja!"
>
>
>
> *Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
> sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau
> menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
> pohon cita-cita? *
>
>
>
> Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di
> antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
> berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
> tandus, gerimis hingga hujan deras.
>
>
>
> Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
> sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada
> bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk
> menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa
> dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
> Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak
> dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
> komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."
>
>
>
> *Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*
>
>
>
> *Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
> kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana
> berputus-asa dan tumpas digulung masa!*
>
> * *
>
> *License To Wed***
>
>
>
> Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
> pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
> dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
> perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
> lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang
> pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
> membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
> bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
> lajang –yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula—untuk
> menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
> teorinya.
>
>
>
> Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis
> berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
> Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu
> gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300 meteran
> dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki
> yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
> lelaki?
>
>
>
> "KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"
>
>
>
> Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
> tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
> motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan
> asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
> Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat *Choki-Choki
> *. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin
> sembari berpandangan.
>
>
>
> Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
> sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
> "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
> bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa
> "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
> Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
> instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
> yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
> diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.
>
>
>
> Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?
>
>
>
> Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
> bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
> tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
> lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
> membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
> mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
> editing* kartu undangan.
>
>
>
> Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
> mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
> mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
> dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu
> untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
> numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga
> KUA di tempat asalnya.
>
>
>
> "Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"
>
>
>
> "Surat apa?" tanya si gadis bingung.
>
>
>
> Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
> harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus
> surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan
> usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele"
> tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan
> yang aneh."
>
>
>
> Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
> berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
> lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,"Duh, pasangan
> santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya
> dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
> cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.
>
>
>
> *Back to laptop*, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang
> "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
> Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
> ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
> karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
> melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
> tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
> penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang –karena tekanan *deadline
> *—bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu
> dengan, terpaksa, sabar.
>
>
>
> Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi,
> sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
> kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
> rumah segera meneliti.
>
>
>
> "Lho kok tulisannya begini?"
>
>
>
> Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
> keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
> (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
> 50an).
>
>
>
> Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.
>
>
>
> "Jeruk kok makan jeruk?"
>
>
>
> Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
> kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi "makan
> jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali"
> ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.
>
>
>
> Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
> Meganingrum dan sang pemuda –yang sempat "berubah wujud"—bernama Nursalam
> AR.
>
>
>
> *Menikah? Lantas....*
>
>
>
> Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
> aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
> olok-olok zaman SMA dulu.
>
>
>
> "Elo mau kawin apa nikah?"
>
>
>
> "Emang apa bedanya?"
>
>
>
> "Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
>
>
>
> Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima
> kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
> lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet
> kewajiban yang datang.
>
>
>
> Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
> pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
> kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
> kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
> Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan
> emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
> tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
> diri sendiri.
>
>
>
> Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta – seperti aku, misalnya --
> adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi --
> cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam
> sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi
> belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
>
>
>
> Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan
> dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan
> bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka
> tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur
> hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin
> (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu
> dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari
> dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak
> bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
>
>
>
> Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
> Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu
> gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga
> dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai --
> dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis
> sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.
>
>
>
> Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah --
> yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an
> bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi
> kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
>
>
>
> Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
> dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
> alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
> yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
> yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun,
> tak usahlah jadi kontroversi.
>
>
>
> Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya
> -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
> memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga
> besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan
> kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas.
> Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah
> silaturahim.
>
>
>
> Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
> berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.
>
> *Pengadegan, Juni 2009*
>
> Foto-foto: www.nursalam.multiply. com
> **) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
> artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan
> jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
> sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
> sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
> tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
> jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
> ***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
> tulisan ini bermanfaat:). Mari berbagi, mari bercerita! Mari ramaikan rumah
> kita kembali!*
>
> * *
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> YM ID: nursalam_ar
> www.nursalam.multiply. com
> www.pensilmania.multiply. com
>
--
-Nursalam AR
Translator & Writer
0813-10040723
021-92727391
YM ID: nursalam_ar
www.nursalam.
www.pensilmania.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar