Suara nyaring terdengar di udara kering siang hari ketika aku sedang 
melayani Bu Sri yang membeli beberapa keperluan rumah tangga di warung 
orang tuaku. Suara itu berasal dari lelaki tetangga sebelah rumah. Rumah 
yang agak menjorok dari pandangan rumah kami. Penghuni rumah itu empat 
orang. Pak Farhan sebagai kepala keluarga. Bu Sri, isterinya yang 
sekarang sedang berbelanja. Dan dua orang anak mereka yang bernama 
Adilla yang berusia lima tahun serta Fadhiyah yang baru enam bulan lalu 
mengucapkan selamat tinggal kepada rahim Bu Sri.
Mendengar teriakan itu, Bu Sri yang berada di warung kami langsung 
menjawab. Juga dengan berteriak, "Sebentar. Masih belum selesai."
Kemudian kepadaku, "Semuanya jadi berapa Dik?"
"Lima belas ribu kurang lima ratus, Bu," jawabku singkat.
"Ngutang dulu, ya? Boleh 'kan?" jawabnya sambil meninggalkanku yang 
terbengong.
"Bu!" panggilku.
"Kenapa? Tidak boleh?" ia berbalik dengan cepat. Matanya tajam 
menatapku. Kepalanya mendongak. Menantangku.
"Bukan tidak boleh."
"Lantas?"
Aku ragu mau bilang apa. Tapi….
"Mmm, Si Fadhiyah /nyambel/ ya?"
"Kata bapaknya sih begitu."
"/Nyambel/ itu apaan sih, Bu?" selidikku ingin tahu.
"Ada deh. Benar 'kan ini ngutang dulu?"
Aku mengangguk lemah. "Tapi…"
"Ya sudah. Terima kasih ya," ujarnya sambil berlalu.
"Tapi Bu…"
Dengan perasaan malas aku menuliskan utang Bu Sri di buku kucel tebal 
dengan cover batik-batik itu. Aku menambahkan utang sejumlah 14.500 
rupiah tadi. Dan aku cukup terkejut ketika melihat total utang Bu Sri. 
Hampir mendekati angka 800.000 rupiah. Kalau lama seperti ini warung 
kecil yang menjadi salah satu sandaran kehidupan kami akan segera rubuh.
Aku menarik napas panjang. Aku memandangi barang jualan kami. Dengan 
sering diutangi oleh para tetangga, warung kami menjadi tidak lengkap. 
Seperti mulut nenek-nenek yang giginya jarang. Kosong di sana sini. Dan 
yang paling sering serta paling banyak utangnya adalah keluarga Bu Sri itu.
Aku tidak tahu sampai kapan warung kami akan bertahan. Modal kami tidak 
banyak.
"Bu Sri ngutang lagi?" tanya ibuku yang keluar dari kamar mandi. Tadi 
beliau sedang mencuci baju. Di dekatnya teronggok ember besar berisi 
cucian yang siap dijemur.
Aku mengangguk.
"Kenapa diberi? Yang kemarin-kemarin saja belum bayar. Bisa bangkrut kita."
Aku terdiam. Pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Seharusnya 
seperti itulah. Tidak seharusnya aku membiarkannya berutang lagi. 
Efeknya ke dua belah pihak. Warung kami bisa pailit. Bu Sri pun pasti 
keberatan untuk melunasinya.
Lama kami terdiam. Hingga aku ingat dengan kejadian tadi.
"Bu, kalau /nyambel/ itu apaan sih?" tanyaku pada ibu yang sekarang 
sedang menjemur cuciannya.
"Anak Gadis kok tidak tahu /nyambel/. Masa sih."
"Bukan tidak tahu…"
"Lantas? Kenapa yang seperti itu saja ditanyai. /Nyambel/ itu ya 
/nyambel/. Seperti yang biasa kamu lakukan. Ambil terasi, tomat, cabe, 
diulek di atas cobek."
"Tapi kalau si Fadhiyah /nyambel/ apakah berarti seperti itu?" tanyaku 
spontan.
"Mungkin."
"Kalau menurut Wati sih tidak mungkin. Ia 'kan masih bayi. Baru enam bulan."
"Kamu bicara apa sih?"
"Ya seperti itu. Apa arti /nyambel/ itu. Apa arti Fadhiyah /nyambel /itu."
"Lantas kenapa nanyain itu?"
Aku jelaskan apa yang menjadi keherananku selama ini. Setiap kali Pak 
Farhan menyebut Fadhiyah /nyambel/, Bu Sri akan berlari dengan tergesa 
ke rumahnya. Hal ini bukan sekali dua kali. Tapi sering. Yang paling aku 
ingat adalah ketika ia memberikan Buah Kesturi ke keluarga kami beberapa 
bulan lalu. Lama ia mengobrol di rumah kami. Ia mengatakan baru pulang 
kampung dari Banjarmasin. Ketika itu teriakan Pak Farhan 
mengobrak-abrikkan semua yang kami obrolkan. Bu Sri pun langsung pulang 
dengan tergesa.
"Tidak ditanyakan kepada Bu Sri?"
"Sudah."
"Apa Jawabannya?"
"Bu Sri hanya tersenyum."
***
Aku sedang membaca sambil tiduran ketika teriakan khas itu terdengar 
kembali. Aku segera keluar rumah. Aku mendekati rumah itu. Aku 
mengitarinya. Aku mengendap-ngendap. Aku menajam-najamkan telinga. Aku 
ingin mendengar apa yang dikatakan oleh mereka. Aku juga mencuri-curi 
pandang ke dalam rumah. Tapi tidak ada yang dapat aku lihat. Aku juga 
tidak tahu posisi mereka.
Tapi tidak lama. Aku mendengar suara dari samping rumah. Tampaknya dari 
kamar anaknya. Aku menuju ke sana. Aku ingin melongokkan kepala ke kamar 
itu. Tapi aku urungkan. Aku takut ketahuan. Aku pun berpura-pura naik ke 
atas pohon rambutan. Aku duduk di sebuah dahan yang rendah.
Di sana aku diam. Aku melirik-lirik kecil ke kamar itu. Dan aku melihat 
mereka. Bu Sri datang terburu-buru dari ruang tamu. Sedang Pak Farhan 
sedang duduk di ranjang tempat tergoleknya si kecil Fadhiyah.
Aku betul-betul penasaran. Aku ingin tahu apa makna dari kata /nyambel/ 
itu. Aku memperhatikan pembicaraan mereka.
"Kenapa tidak Bapak saja, sih!" ketus Bu Sri.
"Tanggung, Bapak barusan sedang makan."
"Taruh dulu bisa 'kan!"
"Lagi enak-enaknya, Bu."
"Selalu ibu, ibu saja."
"'Kan sudah menjadi tugas seorang isteri."
"Ya tugas isteri. Suami juga harus membantu 'kan?"
"Ya, coba Bapak bantu deh. Bantu ngeliatin he-he-he…," kekeh Pak Farhan.
"Huh ingin enaknya saja," manyun Bu Sri sambil membopong si Fadhiyah 
kecil. Ia mengangkatnya. Ketika akan beranjak, tampaknya ia melihat 
bayanganku di ranjang. Ia mendongak. Ia melihat ke arahku. Bu Sri 
tersenyum. Ia bertanya kepadaku.
"Rambutannya berbuah?"
Aku tergagap. Aku tidak menyangka Bu Sri akan melihat dan bertanya 
kepadaku.
"Eh, tidak Bu. /Ngambil/ layangan."
"Untuk Si Asep?"
Aku tersenyum.
Bu Sri berkata kepada suaminya.
"Tuh Pak. Si Wati saja yang masih anak SMP tidak membeda-bedakan mana 
pekerjaan laki-laki dan perempuan. Ia bisa manjat pohon. Ia mengambilkan 
layangan untuk adiknya. Masa Bapak tidak bisa membantu ibu. Kalau 
giliran si Fadhiyah /nyambel/ pasti ibu yang dipanggil. Sesekali Bapak 
/kek/," katanya sambil keluar dari kamar.
Aku tertegun. Aku tidak melihat apa dan bagaimana Fadhiyah yang 
/nyambel/ itu. Aku hanya menyaksikan ia tiduran di tempat tidur. 
Kemudian mendengar benturan ucapan dari suami isteri itu. Esensi si 
Fadhiyah yang /nyambel/ itu tidak aku lihat. Aku makin penasaran. Aku 
ingin segera tahu apa arti perkataan favorit Pak Farhan itu.
"Layangannya dimana, Dik?" suara bariton itu, memecahkan bangunan 
lamunku. Aku kaget.
"Itu," tunjukku pada pada layangan di atasku. Tapi layangan itu tidak 
akan terlihat oleh Pak Farhan. Ia sedikit berada di atas atap rumah Pak 
Farhan.
"Oh, hati-hati," katanya.
"Nggak kok. Deket. Nggak perlu manjat tinggi-tinggi."
"Bukan itu. Hati-hati nanti dikerubuti jejaka bau kencur. Adik tidak 
sadar ya naik pohon rambutan pake rok biru SMP-nya!" ucapnya sambil 
menutupkan daun jendela kamar.
***
/ Fadhiyah nyambel. Fadhiyah nyambel. Fadhiyah nyambel. /Kata-kata itu 
terus berdengung-dengung di telingaku. Ia telah mengisi otak mudaku yang 
seharusnya diisi oleh pelajaran sekolah. Dan aku telah melewati puncak 
titik didih yang membuatku sangat penasaran. Bukan apa-apa. Aku melihat 
daya magnet yang luar biasa dari perkataan sederhana itu. Ketika Bu Sri 
berbelaja di warungku, ketika bercengkerama, dimanapun. Tampaknya kata 
itu sanggup mengubah apa yang dilakukan oleh Bu Sri. Ia akan langsung 
berlari ke rumah.
Kata itu telah pula membuat sedikit pertengkaran diantara mereka. 
Seperti yang aku saksikan dari atas pohon rambuan itu. Dan itu membuatku 
takjub. Aku ingin tahu esensinya. Apa sih arti /nyambel/ itu? Apakah 
seharfiah hurufnya? Ataukah mempunyai makna yang tersurat?
Ah, aku harus mencari tahu. Aku harus mendapat jawabnya. Dan untuk itu 
aku akan mendekati mereka. Terutama si kecil Fadhiyah.
Maka dimulailah petualanganku.
Sejak memutuskan hal itu, sepulang sekolah aku menawarkan diri untuk 
mengasuhnya. Untungnya mereka memperbolehkan. Mereka malah senang ada 
yang menolong.
Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku melakukan penyelidikan. 
Aku memperhatikan anak lucu dan gemuk itu. Aku lihat dengan baik-baik. 
Tapi aku kecewa. Berhari-hari aku mengasuh bayi itu. Tapi tidak ada yang 
berbeda ketika aku memperhatikannya. Ia biasa saja. Seperti bayi 
lainnya. Lucu. Imut. Dan yang paling utama bayi itu jarang menangis.
Tapi lama kelamaan aku tersadar. Aku telah melakukan hal-hal yang tidak 
perlu aku kerjakan. Aku terlalu serius menyikapi setiap masalah. Rasa 
ingin tahu telah mengalahkan logikaku. Bagaimana tidak. Aku telah naik 
ke pohon rambutan hanya untuk mengetahui arti kata itu. Aku sering 
mencuri pandang, mengintai ke rumah itu. Dan ini tidak bisa dibiarkan. 
Aku harus menghentikan penyelidikanku. Energiku harus aku habiskan untuk 
hal-hal yang berguna. Tidak bisa aku seterusnya seperti ini. Menyelidiki 
hal-hal yang tidak ada faedahnya. Aku harus mengekang rasa ingin tahuku. 
Aku tidak boleh diperbudak oleh pikiran kritisku. Aku harus menghentikan 
kegilaanku ini. Biarlah kata itu, Bu, Fadhiyah /Nyambel! /itu/, /tidak 
aku temukan apa artinya.
Setelah berpikir sampai ke sana aku memutuskan untuk tidak melanjutkan 
pengamatanku. Hanya yang jelas aku harus mengembalikan si kecil 
Fadhiyah. Inilah terakhir kalinya aku mengasuh bayi itu.
Hari telah senja. Sebentar lagi maghrib. Aku menuju ke rumah Pak Farhan. 
Aku mengetuk pintunya. Tidak lama pintu itu terbuka. Pak Farhan berdiri 
di ambang pintu. Ia menerima anak keduanya itu. Ia mengucapkan terima 
kasih kepadaku karena telah mau mengasuhkan anaknya. Ia mengajakku 
masuk. Aku menggeleng. Aku beranjak. Ia menutup pintu. Aku terdiam 
sejenak. Hampir satu bulan ini aku telah melakukan hal-hal yang aneh. 
Aku telah melupakan tugas belajarku hanya untuk mengetahui arti kata 
itu. Banyak yang telah aku korbankan. Dan sekarang aku harus 
melupakannya. Aku telah gagal.
Aku beringsut dari teras rumah itu. Hanya lima langkah aku berjalan, 
teriakan nyaring nan khas Pak Farhan terdengar, "Bu, Fadhiyah nyambel!"
Aku tersentak. Aku ingin mendobrak pintu itu. Aku ingin menerobos masuk 
ke dalam rumah. Aku hendak berbalik.
Tapi…, Ah, EGP! teriakku dalam hati.
[Ditulis ketika aku sering mendengar teriakan tetangga sebelah rumah, 
"Bu, Fadhiyah nyambel!"…]
------------------------------------
Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/
<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sekolah-kehidupan/join
    (Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
    mailto:sekolah-kehidupan-digest@yahoogroups.com 
    mailto:sekolah-kehidupan-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    sekolah-kehidupan-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar