wah, judulnya mengingatkanku sama judul lagunya five for fighting, long road to heaven :)
membaca tulisan rewrite ini (ya kan mas nur? kayanya dulu pernah baca yg mirip kaya gini deh) jadi mengingatkanku dgn banyak konflik batin (taelaa, konflik batin) seputar pernikahan. betapa di umur 23 thn, kupikir aku kelewat muda dan kelewat egois utk menikah.
tapi ya memang semua Allah yang mengatur ya. dan alhamdulillah, semuanya lancar. karena tuntutan pekerjaan yg padet bgt, aku bahkan nggak sempet ke KUA ngurus2 (semuanya diserahin ke bapak), termasuk sosialisasi pernikahan sederhana tanpa resepsi yg kuinginkan. bapakku bahkan sampe nelponin saudara2 dan menjelaskan satu2. alhamdulillah, semuanya paham, atau at least berusaha utk paham :)
karena padetnya kerjaan, H-1, aku juga masih ngantor dan pulang jam 16. itupun setelah diteriakin zulfa dan temen2 redaksi cs "RET, LO BUKANNYA BESOK MAU AKAD YA???SONO PULANG!!!". pas di jalan, ibu nitip kembang. yah mampirlah ke pasar kembang rawa belong beli sedap malam seember (yg sisanya dibagi2 ke tetangga) trus pulang ngojek. pas di jalan ujan deres, tapi abang ojek rela ponco-nya dipake aku dan dgn background ujan deres dan petir menggelegar (halah, hiperbolis), si abang ojek berkata "gapapa neng! saya mah gak masalah. kasian eneng kalo ntar masuk angin pas besok akad!".
hehehe.
esoknya, tanpa resepsi, tanpa baju pengantin, tanpa janur, tanpa undangan tercetak, tanpa soundsystem, pernikahan kami dilangsungkan. alhamdulillah, lancar.
karena bareng dgn nikahan abangku yg ke-2, kami akad bareng di masjid dekat gedung tmpt abangku resepsi. abis akad, abangku siap2 resepsi, sementara aku pulang ke rumah dulu. sore2an, aku dan suami dateng ke resepsi abangku sbg tamu.
ah, bahkan setelah setahun lewatpun, ingatan ttg pernikahan sangat sederhana inipun masih indah :). alhamdulillah. makasih utk mengingatkannya dgn tulisan mas nur ya :)
salam,
-retno-
--- In sekolah-kehidupan@
>
> *Long Road To The Marriage**
>
> *Oleh Nursalam AR*
>
>
>
> *Mencari Cinta*
>
> *Malam merayap siput. Hujan menderap*
>
> *Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri*
>
> *Mata susah pejam, angan layang liar*
>
> *Kuraba sisi kasur. Kosong*
>
> *Kapankah ia berpenghuni?
>
> *Hanya Takdir yang tahu*
>
> *Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.*
>
> (*Elegi Lajang*, 2002)
>
>
>
> Puisi buah karyaku sendiri itulah yang menemani malam-malamku sebagai
> lajang. Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara
> keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.* *Menurut
> Pramoedya Ananta Toer dalam *Bumi Manusia*."Kadang manusia dihadapkan pada
> sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat
> apa-apa." Kurang lebih seperti itu bunyinya.
>
>
>
> Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang
> sembrono atau *slebor* sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
> Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena
> banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono
> justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk
> kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan
> momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya? **
>
>
>
> "Ih, sudah ditawarin *akhwat *yang pernah jadi *cover girl* majalah malah
> nolak. Kenapa sih?!"
>
>
>
> *Ini s*ebetulnya karena minder, ketika seorang kawan menyodorkan pilihan. *
> Subhanallah*
> mapan. Lulusan ITB. Lebih muda dua tahun saja. Hm..kenapa ditolak? Entahlah,
> aku hanya mengikuti alarm intuisiku saja. Minder seperti kataku? Bisa jadi.
> Hanya saja aku tidak merasa ada *chemistry* yang sama dengan sekadar melihat
> foto saja.
>
>
>
> Sebagian temanku hanya tertawa. "Ah, mau nikah aja repot banget!" ledek
> mereka. Trauma? Mungkin juga. Dulu kakekku, ayah dari bapak, menikah dengan
> gadis keturunan Arab. Beda status pula. Tapi karena perbedaan status, mereka
> dipaksa cerai dan meninggalkan seorang anak tunggal: ayahku.
>
>
>
> Setelah itu Nek Masenun--sebutanku untuk sang nenek yang tak pernah kulihat
> fotonya itu--dinikahkan dengan seorang yang "*sekufu*", setara. Seorang
> saudagar kaya dari Arab. Pernikahan mereka tak lama, tak berbuah anak. Saat
> itu di era Jakarta 1930an stereotipe soal etnis Arab yang sangat eksklusif
> masih sangat kental. Sialnya, kakekku hidup pada zaman itu. Ia hanya penarik
> perahu tambang alias perahu *eretan* di Kali Ciliwung. Konon, cerita
> almarhum ayahku, kakek seorang yang tampan.
>
> * *
>
> *Bertemu Cinta, Menanti Jodoh*
>
>
>
> 2007.
>
>
>
> Kini saat setidaknya ada sebuah titik cerah ketika seorang gadis bersedia
> berkomitmen mendampingi hidupku, apakah puisi di awal tulisan ini akan mati
> riwayatnya? Ternyata tidak.
>
>
>
> Beberapa bulan sebelumnya. Jam delapan lewat dua puluh satu menit. Malam.
>
>
>
> "Ada pesan dari Mama," ujar gadis manis berjilbab dengan senyum lucu itu.
>
>
>
> Aku berdebar. Benakku sibuk menerka kira-kira apa pesan sang Mama setelah
> kunjunganku malam itu. Ia seorang janda awal lima puluh tahunan yang
> suaminya wafat hanya berselang dua jam setelah ayahku wafat pada 8 September
> 2006. Entahlah apakah itu suatu kebetulan yang merupakan pertanda antara aku
> dan putrinya.
>
>
>
> "Apa kata Mama?" sambutku setelah menghela nafas, menguasai diri yang
> mendadak gugup.
>
>
>
> "Tapi jangan marah ya.."
>
>
>
> Hm
apalagi nih? Benakku kian sibuk menerka. Ribuan kombinasi probabilitas
> berseliweran hadir dengan cara permutasi atau mutasi. Rasanya otakku jadi
> penuh.
>
>
>
> "Halo?!"
>
>
>
> Ufs! Aku lupa aku sedang bercakap di telepon. Jadi tak mungkin dia
> mengetahui gundahku hanya melalui mimik wajah.
>
>
>
> "Ya, nggak marah kok. Cerita aja," tukasku sok mantap. Padahal deg-degan.
>
>
>
> "Bener ya nggak marah?" Suara lembut itu kembali bertanya. Duh, bikin
> penasaran aja!
>
>
>
> "Iya, kagak
" *Tuh*, keluar *deh *logat Betawiku!
>
>
>
> Tawa kecil di seberang meledak. Kemudian hening. Satu..dua
tiga
> hatiku menghitung kapan bom itu meledak.
>
>
>
> Si gadis bercerita perihal diskusi keluarganya setelah kunjunganku malam
> itu. Aku terperangah. Benar, itu bom! Setidaknya demikian yang kurasa.
> Terkejut, paling tidak karena efek Doffler ledakannya.
>
>
>
> "Salam kan orang Betawi? Kamu sudah yakin?"
>
>
>
> "Emang kenapa?"
>
>
>
> "Orang Betawi kan tukang kawin. Sukses dikit udah kawin lagi. Liat aja teman
> kakak!"
>
>
>
> "Kan nggak semua. Tiap orang beda."
>
>
>
> "Itu sekarang waktu dia belum mapan. Coba aja kalo sudah lebih kaya!"
>
>
>
> "Sudah-sudah, nanti Mama titip tanya buat Salam apa dia mau poligami nggak.
> Disampaikan ya!"
>
>
>
> Hening.
>
>
>
> "Bang, kok diam? Marah ya?" Suara lembut itu terdengar khawatir.
>
>
>
> "Nggak. Cuma rada kaget aja."
>
>
>
> Aku tersadar mendengar tuturannya soal diskusi seru keluarganya tentang aku.
> Aku siuman setelah terkena bom itu. Ya, bom stereotipe!
>
>
>
> Aku memang berayah-ibu Betawi asli dan tinggal pun *sejek bujeg* di Jakarta.
> Sementara si Gadis beribukan asli Lampung dan ayah berdarah Palembang
> blasteran Cina. Konon dari garis ibunya ada darah Banjarmasin dan Padang.
> Sangat Indonesia bukan?
>
>
>
> Wajar jika muncul stereotipe atau pandangan miring mengenai hubungan kami.
> Jangankan dengan orang yang sama sekali berbeda suku atau etnis. Dengan
> seseorang yang punya darah suku yang sama saja muncul stereotipe yang sama.
> Ia gadis Betawi campuran Sunda. Bisa dikatakan ialah cinta pertamaku. Namun
> cinta itu kandas tak berakhir mulus. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan
> "belum mapan" dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: "pemalas" dan
> "tukang kawin". Duh!
>
>
>
> Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Ketika ikut sebuah pengajian,
> melalui *murobbi
> *alias guru ngaji, aku mengajukan "proposal" untuk seorang *akhwat* teman
> seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat
> dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris
> dua bulan lamanya, ia menolakkumelalui jawaban lisan dari sang
> *murobbiyah*
> dianggap "kurang sholeh". Ah, nasib!
>
>
>
> "*'Afwan *ya, Lam. Sebetulnya si *akhwat* udah mau. Dia kan seangkatan *
> antum*. Jadi tahu kiprah *antum* di organisasi kampus. Tapi setelah dilacak
> ternyata *antum* pernah pacaran ya? Nah, itu poin yang memberatkan. Jadi,
> atas rekomendasi murobbiyahnya, *antum* ditolak." Itu jawaban sang
> *akhwat*melalui lisan murobbiku.
>
>
>
> Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa
> pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.
> aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan
> `cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang
> menghambat perjodohanku. Dua *ta'aruf *berikutnya juga bernasib sama. Bahkan
> tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
>
>
>
> Hingga akhirnya aku berkenalan dengan Gadis. Awalnya kami sahabat pena
> selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui
> rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku
> sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang kritikus yang baik. Kami
> mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa.
> Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak.
>
>
>
> "Lam, carikan aku calon istri dong!" pinta seorang kawan. Ia teman SMA-ku
> dulu. Saat itu kami juga terikat hubungan bisnis.
>
>
>
> "Kamu serius?"
>
>
>
> Ia mengangguk.
>
>
>
> Aku terdiam sejenak. Sebagai penerjemah yang hobi menulis, banyak kenalanku
> baik pria maupun wanita. Namun kira-kira adakah yang cocok dengan selera
> sobatku ini?
>
>
>
> "Maunya seperti apa?"
>
>
>
> Ia pun menuturkan standar gadis yang diinginkannya. Hm
cukup ideal memang.
> Tapi, *bismillah*, aku coba.
>
>
>
> "Oh ya, coba aja kalian kenalan dulu," ujarku setelah mengusulkan nama
> Gadis. "Orangnya baik dan enak diajak ngobrol."
>
>
>
> "Cantik tidak?"
>
>
>
> Deg. Aku tertegun. Cantik? Aku tak pernah mempermasalahkan itu sebelumnya.
> Aku hanya mengetahuinya dari sebuah foto ukuran 2 x 3 di sebuah majalah. Itu
> pun tak begitu jelas. Tapi apakah penting?
>
>
>
> "Ya, penting dong, Lam," tukas sang kawan ngotot. "Itu syarat penting tuh
> buat cowok!"
>
>
>
> Aku terdiam lagi. "Coba ketemuan aja dulu. Kayaknya cantik kok. Suaranya aja
> merdu." Ia mengangguk. Dengan garansi dariku ia mau menghubungi Gadis. Aku
> sudah bertindak sebagai mak comblang yang baik.
>
>
>
> Sebulan berlalu. Aku menunggu kabar dari sang kawan. Namun tak juga ada
> kabar darinya. Lantas sebagai mak comblang aku meneleponnya untuk memastikan
> keseriusan niatnya. Karena sebagai perempuan, Gadis hanya bisa menunggu *to*
> ?
>
>
>
> "Gimana? Sudah ketemuan kan? Cocok tidak?"
>
>
>
> Ia menghela nafas. "Seminggu pertama ngobrol via telepon sih cocok
> banget. Wawasannya
> luas dan humoris. Terus janji ketemuan. Sayang orangnya tidak cantik."
>
>
>
> Ah, cantik itu memang relatif. Di abad pertengahan, perempuan berbadan gemuk
> dianggap cantik namun kini justru seakan jadi gambaran momok yang mengerikan
> bagi perempuan. Perempuan kini ingin langsing seperti gambaran model artis
> dan selebritis yang dicitrakan media massa. Sudah langsing pun belum tentu
> jaminan dianggap cantik. Ada syarat lagi untuk wajah: berkulit putih mulus,
> tanpa jerawat dll.
>
>
>
> Karena penasaran, untuk pertama kalinya, aku meminta waktu bertemu dengan
> Gadis. Aku ingin tahu seperti apa si Gadis sehingga kawanku menolaknya
> karena alasan tidak cantik. Dan memang benar cantik itu relatif. Atau
> mungkin karena aku tidak terlalu mempermasalahkan soal fisik?
>
>
>
> Benar juga seperti kata artis Syahnaz Haque bahwa orang yang tidak
> mempermasalahkan soal fisik akan bertemu orang yang berpandangan sama.
> Pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan berikutnya hingga pertemuan
> penting pada malam tersebut. Meski awalnya ada keraguan dari ibunya soal
> status pekerjaanku yang bukan orang kantoran dan soal stereotipe etnis, kami
> meniatkan `segala sesuatu akan indah pada waktunya'. *Bismillah*. Kami pun
> sedang menghitung hari lamaran atau khitbah.
>
>
>
> *Meminang dengan Pena
> ***
>
> Orang bilang penulis itu tak pernah kehabisan kata. Tapi rasanya tidak juga.
> Toh, ia juga manusia yang pada suatu titik tertentu dalam hidupnya
> kehilangan perbendaharaan kata karena gemuruh rasa di dada.
>
>
>
> Tidak percaya? Percaya sajalah. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
>
>
>
> "Katanya suka nulis ya, Mas?" sapa lelaki berkumis berwajah ramah tersebut.
> Aku tersenyum. Itu pertanyaan keseribu sekian dalam hidupku.
>
>
>
> "Saya selalu kagum dengan para penulis. Orang yang bisa menulis berarti
> berwawasan luas," ujar sang lelaki tersebut. Aku kembali tersenyum. Kali ini
> kurasa kian lebar. Tapi aku tidak bereaksi lebih lanjut. Bukan apa-apa.
> Bukan sariawan. Bukan pula sombong. Siang itu tertunai sebuah hajat hidupku:
> ada gadis yang bersedia menerima lamaranku. Di sebuah rumah asri di batas
> kota Jakarta. Dan sang lelaki pengagumku itu (semoga tak salah dugaanku)
> adalah juru bicara dari pihak keluarga sang gadis. Salahkah jika hatiku
> bergemuruh dan lidah kelu setelah acara itu?
>
>
>
> Rasanya aku ingin menyepi, merenungi dan bertakbir. Ada seru di hati:
> *Alhamdulillah,
> Ya Allah! Ada juga gadis yang menerima lamaranku!* Mungkin terlalu remeh
> buat sebagian orang. Tapi sebagai lajang di penghujung dua puluhan yang tiga
> kali lamarannya ditolak orang, peristiwa hari ini patutlah dicatat dalam
> diary istimewa di palung hati terdalam.
>
>
>
> "Sudah menulis di mana saja, Mas?" Kembali sang jubir ramah "mengganggu"
> keasyikanku bertamasya syukur. Aku menarik nafas sejenak. *Harus kumulai
> dari mana?* pikirku. Wajah sang jubir dengan kumis *a la* Roy Suryo terlihat
> antusias menunggu jawabanku. *Ah, berarti pertanyaannya serius*, batinku.
>
>
>
> "Insya Allah, di akhir tahun ini ada beberapa buku saya yang diterbitkan,
> Mas," ujarku dengan berupaya mengangkat balok besar yang menghimpit lidah.
> Mulailah aku bercerita tentang proyek menulisku yang sebenarnya tak seberapa
> dibandingkan beberapa kawan penulis lain. Tapi untuk yang bukan penulis
> seperti Mas Bambang, sang jubir, itu sudah cukup mengundang decak kagumnya.
>
>
>
> *Ah, moga saja itu bukan suara cicak di dinding*, batinku. Dan moga saja
> kepalaku tidak menyundul langit-langit atas decak kagumnya yang sejenak aku
> curigai sekadar basa-basi. *Ah, Nursalam, masih saja kamu tidak percaya
> diri!*
>
>
>
> Mas Bambang lantas menjelaskan betapa ia suka membaca dan ingin bisa
> menulis. Tak lama topik berganti dengan ceritanya tentang buku-buku yang
> suka dibacanya. *Ah, ia pembicara yang baik*. Pintar menarik perhatian teman
> bicara dengan sesuatu yang disukainya lantas menariknya ke dalam topik yang
> ingin ditujunya. Dan ia melakukannya dengan mulus. Dan aku senang-senang
> saja. Atau mungkin *mood*ku sedang bagus karena terbayang sebuah senyum
> gadis berjilbab yang menerima penyematan cincin di jari manisnya oleh salah
> satu bibiku yang mewakili pihak keluargaku.
>
>
>
> Ya, sebuah cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Bukan harganya
> yang terutama--kendati itu juga penting karena saat dibeli harga emas sedang
> tinggi-tingginya-
> tagihan hasil terjemahan yang aku minta lebih awal dari klienku dan
> hanya dua hari sebelum hari *khitbah* atau lamaran. Sehari berikutnya
> berkeliling toko emas di Jatinegara dan Pasar Minggu untuk cari model cincin
> yang cocok dan terutama pas dengan *budget *seorang penerjemah pemula yang
> pas-pasan.
>
>
>
> "Emang kamu mau bawa uang seserahan berapa banyak, Lam?" tanya kakak-kakakku
> beberapa hari menjelang khitbah. Ya, proses khitbah ini hanya disiapkan
> sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih siapkan transportasi, undang
> keluarga besar dan beli cincin. Karena dua pekan penuh aku harus berkutat
> dengan proyek terjemahan yang memaksaku duduk bekerja dari *ba'da* subuh
> hingga subuh lagi. Hingga migren, tamu rutinku, tiga kali menerpa. *Duh,
> begini ya perjuangan orang mau serius nikah*, demikian aku membatin
> menguatkan semangat. Ketika jam telah banyak berlalu namun masih saja
> tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang "kering" teronggok di
> samping komputer kreditanku.
>
>
>
> "Belum," jawabku tenang. Aku tatap wajah kakakku yang terperangah. Mungkin
> mereka berpikir aku bercanda. Karena umumnya--dalam tradisi Betawi--khitbah
> atau lamaran sudah disertai dengan bawaan uang untuk calon istri yang
> dilamar. Minimal semacam uang muka. Namun, puji syukur bagi Allah yang
> memudahkan, keluarga sang gadis tidak mensyaratkan itu. Mungkin juga
> diam-diam tahu tumpukan tagihan utangku--salah satunya karena kegagalan
> bisnisku di masa lalu yang harus ditebus. Ditambah lenyapnya asset usaha
> penerjemahanku diterjang banjir pada Februari 2007.
>
>
>
> "Yang penting keluarga besar Salam datang," ujar sang Mama. Entahlah apakah
> beliau iba dengan aku yang yatim piatu, kurus dan berpenghasilan tak tetap
> yang konon sebagai pelamar "termiskin" di antara sekian banyak pelamar yang
> berminat dengan anak gadis satu-satunya itu. Ketika aku muncul pertamakali
> di rumah asrinya beberapa bulan lalu untuk bersilaturahmi, ia terlihat
> berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika aku jawab aku naik angkutan
> umum. Sejak itu pertanyaan, "Bawa apa ke sini?" tak pernah terluncur dari
> mulutnya saat silaturahmi-
> maklum jika naik angkutan umum berarti bawa supir, kenek dan para
> penumpangnya. Komplit.
>
>
>
> Belakangan aku ketahui, berdasarkan analisisku dan keterangan dari
> sumber-sumber tepercaya, salah satu faktor yang membuatku lumayan diterima
> baik adalah karena aku penulis. Memang strategi awalku adalah menghadiahinya
> buku-buku atau media cetak yang memuat tulisan-tulisanku. Dan sangat
> kebetulan sekali salah satu paman sang gadis pernah aktif menulis di majalah
> kampus dan dalam keluarga besarnya ia cukup dihormati karena posisi
> "uniknya" itu. Mungkin ini yang namanya *hallo effect*, renungku dalam suatu
> kesempatan.
>
>
>
> Pertemuanku dengan sang gadis yang kini aku ikat dengan sebuah cincin--demi
> sebuah momen besar berikut di akhir tahun ini--juga karena pena. Aku
> mendapati fotonya terpampang pada rubrik sahabat pena di sebuah majalah
> Islam pada tahun 2000. Entah mengapa aku tergerak untuk menyuratinya. Belum
> ada rasa saat itu. Semata-mata yang menggerakkanku adalah satu nama tempat
> yang asing bagiku, tapi menggelitik: PLAJU. Ya, itu tempat kelahiran sang
> gadis. Yang belakangan kuketahui ia cuma numpang *brojol *saja di sana
> karena pekerjaan ayahnya yang harus berpindah-pindah lokasi sebagai karyawan
> Pertamina.
>
>
>
> Ya, karena pingin tahu tentang nama daerah yang seakan berada di penjuru
> antah berantah itu aku surati dia. Cukup romantis jika dikenang. Di tahun
> 2000an kami berbalas-balasan surat--meski diselingi dengan email alias
> ratron--persis seperti tokoh dalam novel *Tenggelamnya Kapal Vanderwijck*
> Buya Hamka menjalin kasih. Tapi saat itu tak ada kata cinta tersurat. Aku
> yang saat itu berusaha menerapi diri yang lumpuh menulis bertahun-tahun dan
> tak berani (lagi) mengirimkan tulisan ke media menjadikannya sebagai
> pembaca pertama dan setia tulisan-tulisanku. Bermula dari pertanyaaan
> tentang letak Plaju--yang ternyata sebuah kota kecil di Sumatera
> Selatan--hingga kritik konstruktifnya atas tulisan-tulisanku yang saat itu
> mayoritas cerita pendek.
>
>
>
> Perkawanan via surat berlanjut hingga 2005 tanpa pernah sekalipun ada
> pernyataan rasa tersurat atau pertemuan tatap muka. Sempat terjeda sebentar
> beberapa bulan karena kesibukanku. Juga karena aku kehilangan alamat
> emailnya dan juga nomor kontaknya yang lain pada banjir 2002. Ia pun, entah
> kenapa bisa sama, kehilangan nomor kontakku. Hingga takdir mempertemukan
> kembali pada medio 2006. Sekitar dua bulan menjelang kematian ayahku dan
> papanya yang hanya berselang dua jam pada hari yang sama sekitar *nisfu
> sya'ban*.
>
>
>
> Takdir juga yang membuatku bernyali menghadap ibundanya. Meski saat itu
> tersiar kabar sang gadis hendak dijodohkan dengan salah satu sepupu jauhnya
> yang lulusan S-2 sebuah universitas agama negeri di Jawa Barat, dan seorang
> PNS pula. Sementara siapa pula aku? Pemuda dari garis keturunan beda etnis
> yang kendati pernah *nyantrik* di UI namun tak tuntas dan harus berjuang
> dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mulai dari jualan koran,
> mengajar bahasa Inggris, sekretaris LSM sampai wartawan *freelance* dan
> akhirnya penerjemah lepas semata-semata dilakoni demi menyambung nafas
> kemandirian.
>
>
>
> Namun rasanya itu terbayar impas ketika pada suatu titik waktu sang gadis
> bilang salah satu poin kelebihanku hingga ia tak lagi menolak seperti sekian
> pinangan yang bertubi-tubi datang sebelumnya adalah karena aku bisa menulis.
> Dan ia pengagum tulisanku. *Ah, amboi, alangkah beruntungnya para penulis
> jika semua gadis demikian adanya!* Namun perjalananku ke depan masih
> panjang. Jika Allah izinkan maka suatu hari di penghujung tahun ini adalah
> momentum awal kedewasaanku. Secara pribadi, aku selalu mengukur tingkat
> kedewasaan seseorang termasuk diriku dari berani tidaknya seorang lelaki
> berkomitmen serius menikahi perempuan. Semuda apapun sang lelaki,
> dan seberapa pun mendasarnya tingkat pendidikan atau rejeki yang ada
> padanya.
>
>
>
> Ada suatu keinginan di palung hati yang terdalam bahwa aku ingin
> menghadiahinya mahar sebuah buku karyaku selayaknya Bung Hatta memberikan
> mahar buku *Pemikiran Yunani *yang ditulisnya kepada sang gadis idaman,
> Rahmi Hatta. Adakah Allah izinkan itu terpenuhi? *Wallahu a'lam bisshawwab*.
> Seperti syair lagu rakyat Swahili di pedalaman Afrika, "Hidup adalah
> perjuangan, dan kalah atau menang adalah urusan Tuhan." Termasuk perjuangan
> menghadapi kegelisahan tahapan berikutnya pasca pinangan yang diwakili lewat
> sebuah pertanyaan, "Sudah ada uang berapa untuk resepsi nikah?"
>
>
>
> Aku diam-diam tersenyum. Sederet *plan *A dan B berputar di kepala. Tak
> heran belakangan migrenku kerap kambuh baik karena kejar setoran atau
> gangguan kegelisahan tersebut. Namun aku meyakini seperti nasihat ibu calon
> mertua yang selalu bilang,"Percaya saja pada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan
> saja!"
>
>
>
> *Ya, aku percaya pada Tuhan, Mama. Nah, calon istriku, seperti halnya
> sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah kau
> menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu
> pohon cita-cita? *
>
>
>
> Ya, ingin aku bisikkan itu di malam-malam permenunganku dalam penantian. Di
> antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang
> berjatuhan bagai air hujan. Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari
> tandus, gerimis hingga hujan deras.
>
>
>
> Ya, meminang dengan pena. Hatiku gerimis merincis mengenang kenekatanku
> sebelum sembilan September yang bersejarah kemarin. Namun belum layak dada
> bungah sebelum takdir yang lebih kuat mengikat. Akan butuh banyak doa untuk
> menjemput takdir yang satu itu. Jika sebelum pinangan, aku khusus minta doa
> dari salah satu teman SMA-ku yang berumroh agar ia mendoakanku di depan
> Multazam maka kali ini aku butuh doa dari semesta. Seperti sebuah sms bijak
> dari seorang Teha Sugiyo, sang motivator dari Bandung, "Jika niat dan
> komitmen sudah dipancangkan maka semesta akan menyambut."
>
>
>
> *Wahai semesta, sambutlah niat suciku!*
>
>
>
> *Ya Allah yang menguasai semesta, jadikan aku kuat dengan segala titipan
> kekuatan-Mu yang ada, dan bukan sekadar kenekatan tanpa iman yang berkelana
> berputus-asa dan tumpas digulung masa!*
>
> * *
>
> *License To Wed***
>
>
>
> Mengurus pernikahan itu susah-susah gampang. Seorang teman bilang bahwa
> pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah,
> dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi
> perizinannya. Seperti judul film Warkop DKI: *Susah-Susah Gampang*. Tapi,
> lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang
> pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil
> membatin,"Ya, iyalah!". Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang,
> bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang
> lajang yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pulauntuk
> menikah pertamakalinya. Entahlah, terserah percaya atau tidak. Konon, itu
> teorinya.
>
>
>
> Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis
> berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di bilangan Jakarta
> Selatan yang letaknya mepet dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu
> gontai. Plus wajah cemberut. Maklum, mereka habis *long march* 300 meteran
> dari ujung jalan utama. Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki
> yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang
> lelaki?
>
>
>
> "KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"
>
>
>
> Dengan *husnuzon* tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik
> tawaran gerombolan tukang ojek yang sudah dengan baik hati menghangsurkan
> motor mereka. Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan
> asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus.
> Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai coklat *Choki-Choki
> *. Alamak! Ini *mah* sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin
> sembari berpandangan.
>
>
>
> Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan
> sepi. Mau naik ojek? Kadung jauh betul. Mau jalan? Tidak jelas seberapa
> "dekat" lagi. Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah
> bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa
> "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.
> Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor
> instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA
> yang satu ini tak jauh dari Setu Babakan, pemukiman budaya Betawi yang
> diresmikan pemda DKI beberapa tahun lalu.
>
>
>
> Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?
>
>
>
> Jam menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat
> bersantai. Seorang wanita pegawai di meja yang menghadap ke arah pintu
> tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka
> lebar. Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa
> membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk
> mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga *
> editing* kartu undangan.
>
>
>
> Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu
> mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan. Dalam hitung-hitungan
> mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka
> dapatlah mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu
> untuk hari H nanti. Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat
> numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga
> KUA di tempat asalnya.
>
>
>
> "Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"
>
>
>
> "Surat apa?" tanya si gadis bingung.
>
>
>
> Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang
> harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus
> surat pengantar nikah. Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan
> usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele"
> tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan
> yang aneh."
>
>
>
> Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali
> berucap demikian. Saat pasangan itu hendak melangsungkah *khitbah* atau
> lamaran pada September lalu, pihak keluarga juga berkomentar,
> santai!" ketika mereka tahu bahwa semua persiapan termasuk beli cincin hanya
> dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum
> cengengesan. Barangkali inilah kesamaan yang menyatukan mereka.
>
>
>
> *Back to laptop*, setelah "gagal" dengan sukses di KUA, sang gadis yang
> "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga
> Kelurahan. Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa
> ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula)
> karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang *ngebodor* (baca:
> melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor
> tersendiri bukan? Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukan
> penerjemah *freelance* seperti calon suaminya yang karena tekanan *deadline
> *bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu
> dengan, terpaksa, sabar.
>
>
>
> Setelah 2 jam lebih sedikit, surat pengantar pun beres. Tanpa periksa lagi,
> sang gadis menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor
> kelurahan yang setia ditungguinya 2 jam tadi. Sang ibu yang menyambut di
> rumah segera meneliti.
>
>
>
> "Lho kok tulisannya begini?"
>
>
>
> Si gadis penasaran, dan melongok ke bagian belakang surat yang memuat
> keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR
> (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun
> 50an).
>
>
>
> Si gadis mangkel. Ibunya terbahak.
>
>
>
> "Jeruk kok makan jeruk?"
>
>
>
> Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor
> kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja. Sang gadis tidak jadi "makan
> jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali"
> ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara *de jure* dan *de facto*.
>
>
>
> Dalam catatan pernikahan di KUA, 3 hari kemudian, sang gadis bernama Yuni
> Meganingrum dan sang pemuda yang sempat "berubah wujud"bernama Nursalam
> AR.
>
>
>
> *Menikah? Lantas....*
>
>
>
> Alhamdulillah, di penghujung 2007 tepatnya 23 Desember, di ujung usia 30,
> aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari
> olok-olok zaman SMA dulu.
>
>
>
> "Elo mau kawin apa nikah?"
>
>
>
> "Emang apa bedanya?"
>
>
>
> "Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
>
>
>
> Ketika seorang lelaki menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima
> kawin dan nikahnya fulanah binti fulan." Jelas. Komplit. Tidak ada syak
> lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet
> kewajiban yang datang.
>
>
>
> Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban
> pribadiku saat seorang *netter*, ketika dalam sebuah milis meruyak
> kontroversi tentang 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via email
> kepadaku. Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
> Entahlah bagaimana raut mukanya di seberang kabel sana saat menerima balasan
> emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau
> tidak sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya itu sebuah kejujuran terhadap
> diri sendiri.
>
>
>
> Obat bagi seorang lelaki yang gampang jatuh cinta seperti aku, misalnya --
> adalah menikah dan memiliki istri -- yang setidaknya menurutnya pribadi --
> cantik. Minimal, ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam
> sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi
> belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
>
>
>
> Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan
> dan mencoba berkompromi. Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan
> bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras. Aku suka
> tidur dengan lampu terang --karena kebiasaan membaca buku sebelum tidur
> hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler -- dan anti kipas angin
> (karena aku rentan masuk angin). Namun, Yuni hanya bisa tidur jika lampu
> dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Alhasil, tiga hari
> dalam sepekan pertama tersebut aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak
> bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
>
>
>
> Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi.
> Setelah sebulan lebih. Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu
> gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga
> dini hari.Karena Yuni Meganingrum, istriku, juga mulai belajar memaknai --
> dalam arti sebenarnya-- bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis
> sempurna". Ia masih saja makhluk (semi) nokturnal.
>
>
>
> Menikah juga konon membuat kaya. Itu kata salah satu buku panduan menikah --
> yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah -- yang mengutip janji al Qur'an
> bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi
> kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
>
>
>
> Sebagian kawan -- yang sudah menikah tentunya -- menafsirkannya dalam
> dimensi material. "Sebelum menikah, ane ga punya apa-apa. Sekarang
> alhamdulillah sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan." Sobat
> yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa
> yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah." Ya, apapun,
> tak usahlah jadi kontroversi.
>
>
>
> Setidaknya, sesuai pengalaman saya sendiri, setelah menikah Anda akan kaya
> -- dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki. Setidaknya
> memiliki istri atau suami dan kemudian anak, dan bertambah jumlah keluarga
> besar (ada mertua, saudara ipar) dan tambahan kenalan (teman-teman pasangan
> kita). Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas.
> Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah
> silaturahim.
>
>
>
> Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan,
> berteguhlah, Sobat, karena ini jalan kedewasaan, jalan fitrah.
>
> *Pengadegan, Juni 2009*
>
> Foto-foto: www.nursalam.
> **) semua bagian tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di milis SK yang
> artinya Sekolah Kehidupan (SK) adalah bagian tak terlepaskan dari perjalanan
> jodoh tsb, tempat di mana saya berteduh. Sungguh saya merasa berdosa dan
> sedih ketika rumah ini terasa sunyi dan kering, antara lain karena saya
> sendiri sebagai salah satu penghuni tak lagi rajin mengunjungi. Sengaja
> tulisan ini dikumpulkan dan diposting ulang guna mengenang perjalanan SK
> jelang milad ke-3 di Bandung Juli nanti.*
> ***) Untuk semua yang berniat, akan, jelang dan sudah menikah, semoga
> tulisan ini bermanfaat:)
> kita kembali!*
>
> * *
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> --
> -Nursalam AR
> Translator & Writer
> 0813-10040723
> 021-92727391
> YM ID: nursalam_ar
> www.nursalam.
> www.pensilmania.
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar